Jakarta, Warta Bugar – Indonesia menempati urutan ke 5 dengan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) terbesar di dunia, yaitu 1 juta pada tahun 2017. Itu berdasarkan data International Diabetes Foundation (IDF).
Prevalensi DM di Indonesia pada tahun 2015 adalah 8.8% dan diperkirakan menjadi 10.4% pada tahun 2040. Menurut rilisnya dari FKUI (6/1), prevalensinya terus meningkat sebesar 2.36% setiap tahun, sedangkan tingkat kenaikan tahunan di dunia hanya 1.72%.
Selanjutnya, DM dianggap sebagai salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. International Health Metrics and Evaluation melansir bahwa kematian yang disebabkan oleh DM pada tahun 2017 adalah 5.91% dari total kematian di Indonesia, lebih dari dua kali lipat proporsi kematian akibat DM di dunia (2.45 %).
Soewondo, dkk pada tahun 2019 menyampaikan bahwa dari semua pasien DM di Indonesia, 97.5% menderita diabetes mellitus tipe 2. Diketahui bahwa sebagian besar kasus diabetes mellitus tipe 2 bermula dari resistensi insulin.
Untuk itu, Febrianti tertantang untuk membuat skor resistensi insulin. Tujuannya, sebagai cara pencegahan dini diabetes mellitus yang mudah dan murah.
Dalam promosi doktornya di IMERI FKUI, Senin (6/1), ia mempresentasikan hasil studinya di hadapan para penguji. Di situ ia mengembangkan sebuah kuesioner skor risiko dapat menjadi alternatif yang cocok.
Menurut Febrianti, dengan kuesioner skor risiko, penapisan dapat dilakukan oleh orang awam yang terlatih, dan hanya orang dengan risiko resistensi insulin yang harus mendapatkan pengukuran biokimia lanjutan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Studi yang dikerjakan Febrianti ini bertujuan untuk menghasilkan kuesioner skor risiko resistensi insulin, yang merupakan alat skrining untuk membedakan seseorang dengan dan tanpa risiko resistensi insulin.
“Asupan rata-rata harian dari nasi, telur, ikan dan udang, ayam, bersama dengan indeks massa tubuh (IMT) terpilih sebagai komponen terbaik untuk menghitung risiko resistensi insulin dalam kuesioner yang dikembangkan,” katanya.
Walhasil, skor risiko dari penelitian ini terbukti baik untuk membedakan orang dengan resistensi insulin dengan yang normal.
Seseorang yang mendapatkan skor ≥ 56 setelah menjawab 5 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner, memiliki risiko resistensi insulin dan dianjurkan untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan.
Studi Febrianti tergolong baru. Sebelumnya digunakan metode biokimia untuk mendeteksi adanya resistensi insulin. Namun ada kendala relatif mahal dan tidak selalu memungkinkan untuk digunakan dalam kegiatan penapisan massal.
Selain itu, metode ini invasif dan tergantung pada petugas kesehatan. (sgh)
Berita Lainnya
Jaga Trigliserida Agar Jantung Tetap Aman
WARTABUGAR - Trigliserida merupakan bagian dari kolesterol selain kolesterol jahat (LDL) dan kolesterol baik (HDL). ketiganya berperan dalam kesehatan jantung....
Ini USG Terbaru Buatan Philips
WARTABUGAR - Royal Philips, salah satu perusahaan teknologi kesehatan, memperkenalkan sistem ultrasonografi ringkas generasi terbaru, seri Compact 5000 pada lokakarya...
ERHA Tak Mau Ketinggalan, Ikut Lakukan Transformasi Digital
WARTABUGAR- Arya Noble, perusahaan layanan kesehatan dan kewirausahaan di Indonesia, telah memulai perjalanan digital transformatif yang didukung oleh RISE with...
Sutra Luncurkan Kondom Terbaru, Lebih Tipis dan Basah
WARTABUGAR - Untuk meningkatkan kepuasan konsumen dalam urusan privat, Sutra, salah satu Brand Kondom di Indonesia, mempersembahkan inovasi terbarunya -...
Teknologi AI Berperan Dalam Pengembangan aRumah Sakit
WARTABUGAR - Penyedia layanan kesehatan di Indonesia telah merespons era digital dengan beralih dari sistem konvensional ke sistem digital. Menurut...
Awas Pneumonia Banyak Menyerang Anak-anak, Lakukan Segera Vaksinasi
WARTABUGAR - Pneumonia sebagai salah satu penyakit invasif yang menyerang paru-paru memiliki konsekuensi jangka panjang bagi penderitanya, termasuk menurunnya fungsi...