WARTABUGAR – Pada tahun 2020, 2.706 orang di Indonesia menderita hemofilia. Penyandang hemofilia memiliki risiko kesehatan yang serius berupa pembengkakan sendi, kecacatan hingga membahayakan jiwa. Terutama bagi anak-anak, kondisi ini seringkali membatasi mereka untuk dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lainnya.
Fasilitas kesehatan yang masih terpusat di kota-kota besar dan sumber daya yang terbatas; ditambah dengan penyebaran penduduk di berbagai pulau di Indonesia menjadi beberapa tantangan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses ke pelayanan penanganan hemofilia.
Tantangan lainnya dalam tata laksana hemofilia adalah terkait terbatasnya pengetahuan dan kesadaran mengenai hemofilia baik masyarakat umum maupun tenaga kesehatan dari multidisiplin untuk dapat mengenali gejala dan kejadian hemofilia serta tindakan penanganan yang tepat dan adekuat.
Itu terungkap dalam pertemuan Hemofilia yang berlangsung secara virtual pada Sabtu (27/2/2021). Dalam acara itu, Dirjen Pelayanan Kesehatan turut memberikan sambutan mewakili Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Djajadiman Gatot, Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia mengatakan, masih banyak ketidaktahuan masyarakat mengenai gejala maupun penanganan hemofilia. Padahal, kejadian hemofilia membutuhkan penanganan khusus dan segera agar tidak menimbulkan risiko serius dalam jangka panjang. Pengobatan hemofilia saat ini telah didukung oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional. “Sehingga penyandang hemofilia di Indonesia saat ini telah dapat memperoleh pengobatan faktor pembekuan yang dibutuhkan,” katanya dalam rilisnya yang diterima WARTABUGAR (27/2/2021).
Namun, masih terdapat beberapa kendala terkait jumlah obat dan dosis yang masih belum memadai sehingga masih banyak ditemui pasien yang mengalami kerusakan sendi, perdarahan berat seperti perdarahan otak dan organ dalam yang berisiko kematian.
Selain itu, beberapa pasien mengalami penolakan terhadap obat faktor pembekuan darah yang diberikan. Untuk itu, pengobatan anti inhibitor dan terapi pencegahan atau profilaksis yang dilakukan secara rutin seperti yang telah
dilakukan di berbagai negara dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi pasien.” imbuh Djajadiman.
Tantangan geografis dan keterbatasan fasilitas juga tidak hanya menjadi kendala bagi pasien hemofilia yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan layanan pengobatan, namunjuga berakibat pada tantangan mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang dibutuhkan.
Secara statistik diperkirakan sekitar 20.000 – 25.000 penyandang hemofilia hidup di Indonesia dari total
penduduk Indonesia sejumlah 250 juta jiwa. Namun, jumlah pasien yang terdata saat ini menunjukkan baru sedikit pasien di Indonesia yang didiagnosis dan mendapat akses terhadap pengobatan.
Dalam kesempatan yang samaCesar Alejandro Garrido, President of World Federation of Hemophilia mengatakan, hampir 75% orang dengan gangguan perdarahan tidak terdata. Sementara itu, hanya sekitar 20% dari pasien
yang telah didiagnosis mendapatkan perawatan yang adekuat.
“Di wilayah Barat Pasifik, kami telah mendiagnosis 39% pasien dari total populasi pasien hemofilia, sementara di Asia Tenggara dengan situasi yang lebih menantang, kami hanya mendata sekitar 16% dari populasi pasien,” ujar Garrido.
Di Indonesia, menurut Survei Global Tahunan World Federation of Hemophilia, hanya 8,3% pasien hemofilia yang
telah terdata. “Kita perlu memiliki informasi yang lebih akurat untuk dapat merancang strategi penanganan yang lebih efektif dan meyakinkan para pengambil keputusan di otoritas kesehatan dan pemerintah pusat untuk perbaikan penanganan hemofilia.” Cesar menambahkan.
Selanjutnya, Novie A Chozie, dokter spesialis Anak dan Ketua Panitia Kongres Nasional HMHI ke-6
tahun 2021 Virtual Summit menjelaskan bahwa meskipun pandemi Covid-19 memberikan tantangan
tertentu bagi seluruh masyarakat di dunia termasuk Indonesia, namun dialog serta pertukaran
informasi dan pengalaman tetap harus terlaksana untuk mencapai tujuan penanganan hemofilia
terpadu yang lebih baik di Indonesia.
“Kami mengapresiasi keterlibatan Kementerian Kesehatan, seluruh pembicara, pendukung acara dan peserta yang terdiri dari tenaga kesehatan dari berbagai disiplin ilmu, pasien dan masyarakat umum untuk menjadi bagian dari solusi dalam perbaikan diagnosis dan penanganan hemofilia; serta dukungan dari organisasi internasional World Federationof Hemophilia untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman tentang perkembangan hemofilia di
dunia yang dapat memberikan hasil perawatan yang lebih baik bagi pasien di Indonesia,” pungkas Novie.
About Post Author
Berita Lainnya
EU-ASEAN Sepakat Tingkatkan Layanan Kesehatan
WARTABUGAR - Dewan Bisnis UE-ASEAN (EU-ABC) dengan senang hati mendukung publikasi terbaru laporan “Building a Healthier Asia: Empowering More Equitable...
Lakukan 4 Tips Ini Selama Berpuasa
Idealnya, Ramadhan menjadi bulan yang suci dimana orang-orang yang menjalankannya diuji baik secara fisik dan mentalnya, karena berpuasa tak hanya...
Awas TBC Mengintai Usia Muda
OBATDIGITAL - Mayoritas pengidap penyakit tuberkulosis (TBC) adalah pekerja usia produktif, menurut data Global TB Report 2022. Penderita TBC di...
Wings Gencarkan Program Baby Happy Diapers
WARTABUGAR - Indonesia menempati urutan ketiga negara fatherless country di dunia. Fenomena ini muncul akibat tidak adanya peran dan keterlibatan...
Kurangi Impor Kalbe Produksi Benang Bedah
WARTABUGAR - PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melalui anak usaha PT Forsta Kalmedic Global memproduksi benang bedah sebagai upaya mengurangi...
Kalium Yang Ada Pada Daun Kelor Bermanfaat Bagi Tubuh
WARTABUGAR - Kalium atau potasium, salah satu jenis makro mineral yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Ada banyak manfaat kalium,...