Read Time:2 Minute, 20 Second

Bekasi, Warta Bugar – Untuk pertama kalinya, Allianz dalam Allianz Risk Barometer, menempatkan insiden siber sebagai faktor risiko bisnis terbesar di Asia Pasifik. Persentasenya sebesar 35% dari jumlah responden yang dimintai pendapatanya.

Seperti dalam rilisnya (17/1), posisi kedua ditempati gangguan binis yang persentasenya sebeasr 34%.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengusaha mulai sadar bahwa ancaman dunia maya harus diwaspadai karena aksi kejahatan lewat jaringan ini sudah tumbuh pesar dalam beberapa tahun terakhir.

Apalagi belakangan ini, banyak perusahaan semakin tergantung pada data dan sistem IT.

Masuknya bahaya siber dalam posisi puncak tentu mengejutkan. Sebab dalam survei tujuh tahun sebelumnya, insiden siber tak pernah masuk di jajaran 10 teratas yang memiliki faktor risiko di kawasan Asia Pasifik.

Mark Mitchell, CEO Regional, Asia Pasifik AGCS (Allianz Global Corporate & Speciality), mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, Cyber menyalip Interupsi Bisnis sebagai risiko teratas untuk bisnis di Asia Pasifik.

Selain menjadi risiko teratas secara regional dan global, insiden siber menjadi salah satu dari tiga risiko teratas di 80% negara yang disurvei di Asia Pasifik, dengan India dan Korea Selatan menempatkannya sebagai risiko bisnis teratas.

Bisnis menghadapi tantangan pelanggaran data yang lebih besar dan lebih mahal, peningkatan insiden ransomware dan spoofing, serta prospek denda atau litigasi yang didorong privasi setelah peristiwa apa pun.

“Sementara 2019 tidak melihat insiden cyber global utama dalam rangkaian peristiwa masa lalu seperti WannaCry dan NotPetya,” ujar Mitchell.

“Bisnis semakin menyadari biaya yang terkait dengan menjadi korban serangan dunia maya,” imbuhnya.

IBM misalnya memperkirakan terjadi pelanggaran data, seperti pencurian data, senilai sekitar US$4 juta, yang jumlahnya selalu meningkat 8% per tahun.

Sementara itu, urutan ketiga ditempati oleh perubahan iklim, yaitu sebesar 25%. Kemudian disusul olef risiko politik dan kekerasan. Risiko ini juga mengejutkan karena sebelumnya juga tak pernah masuk dalam 10 besar faktor risiko yang dicemaskan pengusaha.

Perubahan iklim adalah kenaikan besar secara regional, melonjak ke urutan ketiga dari kedelapan tahun lalu, didorong oleh para pakar manajemen risiko di negara-negara dan wilayah seperti Australia, Hong Kong, India, dan Indonesia.

Kebakaran hutan yang sedang berlangsung yang melanda Australia, serta banjir parah di Jakarta awal Januari ini, tentu telah menjadi konsekuensi dari cuaca yang semakin tidak stabil untuk bisnis.

Lantas, peningkatan kerugian fisik adalah bisnis paparan yang paling ditakuti (49% dari tanggapan).

Seperti naiknya permukaan laut, kekeringan yang lebih kering dan lama, badai yang lebih dahsyat, dan banjir besar menimbulkan ancaman bagi pabrik dan aset perusahaan lainnya, serta hubungan transportasi dan energi yang saling terkait.

“Perubahan Iklim adalah risiko besar, karena hanya menempati peringkat ke-8 dalam edisi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan pengawasan dan pengawasan,” sambung Mitchell.

Survei tahunan yang menggambarkan risiko bisnis ini dilakukan oleh Allianz Global Corporate & Speciality (AGCS).

Tim peneliti bekerja menghasilkan persentase itu dengan menggabungkan pandangan dari rekor 2.718 ahli di lebih dari 100 negara termasuk CEO, manajer risiko, broker dan ahli asuransi. (sah)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
rumput ular sabah Previous post Rempah Bisa Dikembangkan di Era Industri 4.0
Nyamuk Aedes aegypti penyebar virus dengue Next post Ini Cara Baru Mencegah Penularan DBD